Kamis, 02 Februari 2012

Adab dan Tujuan Jihad


Diantara tujuan jihad apabila seorang muslim turun ke medan perang, maka tujuan utamanya adalah agar Kalimatullah tegak diatas kalimah kufur. Sebab agama telah menggariskan larangan keras, agar jihad tidak dicampuradukkan dengan tujuan-tujuan lain. Mengharap pangkat dengan cara melakukan jihad adalah suatu perbuatan yang diharamkan. Begitu pula untuk kepentingan popularitas, publisitas, keinginan mencari kekayaan, mengharapkan ghanimah (harta rampasan) dan hanya sekadar mencari kemenangan yang tak beralasan, sangat dilarang di dalam agama. Yang diperbolehkan di dalam melaksanakan jihad ini ialah mengorbankan darah dan nyawa sebagai tebusan bagi aqidahnya, demi mebela kebenaran petunjuk yang berlaku bagi seluruh ummat manusia. Sedang adabnya ialah agar sebelum peperangan dimulai hendaklah didahului dengan da’wah kepada tauhidullah, jika menolak disuruh membayar upeti (jizyah), jika menolak maka perang adalah solusi akhir. Perhatikan contoh-contoh didalam hadits berikut:
Imam Malik berkata:
“Wajib menyeru mereka kepada Islam, meskipun da’wah Islam telah sampai kepada mereka selama mereka tidak menyerang terlebih dahulu.”
Adalah Rasulullah berdakwah langsung kepada orang-orang musyrik secara lisan dengan mengatakan: “Wahai manusia, ucapkan Laa ilaha illallah, niscaya kalian akan beruntung…” Adapun kepada para raja, beliau berdakwah dengan surat yang dibawa oleh para utusan. Ini sebuah contoh surat beliau kepada Hiraklius raja Romawi:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah kepada Heraklius, orang besar Romawi. Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du: Sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan Islam: Islam-lah, niscaya engkau akan selamat, Allah akan memberikan pahala kepadamu dua kli lipat. Jika engkau berpaling, maka sesungguhnya engkau akan menangguing dosa orang-orang Romawi.
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Rasulullah memandang bahwa surat tersebut sebagai da’wah yang mencukupi, halal bagi kaum Muslimin memerangi mereka karenanya apabila mereka tidak mau mengikuti Dienul Islam atau tidak bersedia membayar jizyah. Dalam perang Tabuk, Rasulullah tidak mengulang lagi da’wah kepada Islam setelah suratnya yang tersebut di atas (sampai kepada mereka). Dalam Shahih al Bukhari dan Muslim diriwayatkan; bahwasanya beliau memerangi Bani Mushtaliq yang melakukan penyerangan ketika mereka sedang memberikan minum ternak-ternak pioaraan mereka. Beliau membunuh pejuang-pejuang mereka.
Dari al Harits bin Muslim dari ayahnya, ia berkata:
“Rasulullah mengirim aku untuk berperang yang tergabung di dalam satu pasukan. Ketika aku tiba di tempat pertahanan, aku menepuk kuda yang aku tunggang agar bisa melewati para sahabat yang berada di depan. Aku disambut oleh musuh di perkampungan Ranin, lalu aku mengtakan kepada mereka: Katakanlah, Tiada Tuhan melainkan Allah, maka kalian akan aman. Mereka itu ternyata mau menuruti perintahku mengucapkan kalimat Tauhid. Semua sahabat kemudian mencela perbuatanku, mereka mengatakan: Akibat ulahmu, kami tidak mendapatkan ghanimah. Ketika kami tiba kembali menghadap Rasulullah, mereka menyampaikan peristiwa yang aku lakukan. Kemudian Rasul memanggilku dan memuji terhadap perbuatanku. Beliau bersabda: Ketahuilah, bahwa Allah telah menetapkan untukmu pahala untuk setiap orang (yang masuk Islam). Adapun aku akan memberikan wasiat untuk orang sesudahku, lalu memberikan stempel dengan stempel beliau yang diberikan kepadaku.”
Dari Syaddad bin al Hadi, ia mengatakan: Seorang Badui datang menemui Rasul, lalu menyatakan iman di hadapannya sambil mengtakan: Saya bersedia hijrah bersamamu. Kemudian Rasulullah menitipkan kepada salah seorang sahabat. Pada suatu ketika, meletuslah perang dan Nabi memperoleh ghanimah yang sangat banyak yang dibagi-bagikan kepada seluruh sahabatnya, termasuk seorang Badui itu. Ketika ghanimah tersebut diberikan kepadanya, ia mengatakan: Apa ini? saya mengikuti anda bukan lantaran barang ini; tetapi saya mengikuti anda agar aku mati dengan panah di tenggorokan – sambil memegang tenggorokan – agar aku dapat masuk syurga. Nabi menjawab: Apabila cita-citamu ini benar, maka Allah akan mengabulkannya. Belum lama berselang, ia bangkit maju ke medan pertempuran, dan tewas. Kemudian jenazahnya dibawa kehadapan Rasul, dan di tenggorokannya bersarang anak panah tepat di tempat yang dipegangnya ketika ia berbicara dengan Rasul. Rasulullah bersabda: Apakah dia orang Badui itu? Para sahabat menjawab: Ya. Rasul meneruskan sabdanya: Dia berbuat benar terhadap Allah, maka Allah mengabulkan keinginannya. Kemudian Rasul membungkusnya dengan jubahnya sendiri, dan berdiri shalat jenazah. Doa yang terdengar melalui mulut Rasul ialah: Ya Allah, ini adalah hamba-Mu yang hijrah di jalan-Mu dan gugur dalam keadaan syahid. Aku ikut bersaksi bahwa ia mati syahid.”
Dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki mengatakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, ada seorang ikut berperang di jalan Allah, sedangkan ia mengharap harta duniawi. Rasul menjawab: Dia tidak akan memperoleh pahala, (Beliau mengulangi pernyataannya itu sebanyak tiga kali).
Dari Abu Musa, ia berkata: Rasulullah ditanya mengenai seseorang yang berperang karena ingin dikatakan sebagai pemberani, karena fanatisme, dan karena memamerkan diri. Manakah yang sebenarnya dikatakan fie sabilillah? Rasulullah menjawab: Barang siapa yang berperang di jalan Allah demi meluhurkan Kalimatullah, maka dia itu fie sabilillah.
Apabila diperhatikan peristiwa peperangan yang dilakukan para sahabat, begitu pula mengenai penaklukan negara-negara di dalam rangka perluasan Islam, maka dapat kita lihat bahwa para sahabat itu selalu bersikap antipati terhadap materi dan ambisi. Tujuan mereka hanya satu, yaitu memberikan petunjuk kepada manusia tentang kebenaran, sehingga Kalimatullah menjadi luhur. Kita juga akan melihat, betapa salahnya suatu kaum yang mengatakan bahwa para sahabat itu hanya berkeinginan menguasai bangsa-bangsa lain, menindas dan mencari materi. Tuduhan-tuduhan itu adalah suatu fitnah dan kebohongan kaum kuffar dan orang-orang yang menjadi antek-antek kaum kuffar.
Oleh: Ust. Abu Muhammad Jibriel Abdurrahman

Adab Diskusi


Diskusi atau dialog atau debat (al Jadal – at Tahawur) dianjurkan dalam Islam. ia dilakukan untuk menetapkan kebenaran dan membatalkan kebatilan.  Allah Swt berfirman :

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antara mereka kamu berdua. Sesungguhnya Allah maha mendengar dan maha melihat.” (TQS. al Mujadalah : 1)
dalam ayat ini, Allah menyebut al jadal (berdebat) dengan istilah at tahawur (berdiskusi). definisi al jadal adalah penyampaian hujjah atau yang diduga sebagai hujjah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapatnya, membatalkan hujjah teman diskusinya, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (TQS. an Nahl : 125)
“Katakanlah, tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.”(TQS. al Baqarah : 111)
Di antara adab berdebat/dialog/diskusi yang telah diwasiatkan oleh para ulama – dengan sebagian tambahan – adalah :
1.      Mengedepankan ketaqwaan kepada Allah Swt, bermaksud mencari ridloNya.
2.      Harus diniatkan untuk memastikan kebenaran sebagai kebenaran dan membatilkan yang batil. Bukan karena ingin mengalahkan, memaksa, dan menang dari lawan diskusi.
3.      Tidak bermaksud untuk mencari kebanggaan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih dan ingin dilihat.
4.      Harus diniatkan untuk memberikan nasihat kepada Allah Swt, agamaNya.
5.      Harus diawali dengan memuji dan bersyukur kepada Allah Swt dan membaca shalawat kepada RasulNya.
6.      Harus memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah Swt agar diberi taufik terhadap perkara yang diridloiNya.
7.      Harus bederdiskusi dengan metode yang baik dan dengan padangan dan kondisi yang baik.
8.      Singkat dan padat dalam berbicara.
9.      Harus sepakat dengan lawan diskusinya terhadap dasar yang menjadi rujukan keduanya.
10.  Orang kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat.
11.  Tidak mengeraskan suaranya, kecuali sebatas untuk bisa didengar oleh orang di sekelilingnya.
12.  Tidak boleh merendahkan lawan diskusi dan meremehkan persoalannya.
13.  Tidak boleh berdiskusi dengan merasa hebat dan takjub terhadap pendapatnya, sebab orang yang ujub tidak akan menerima pendapat dari orang lain.
14.  Harus berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan diskusi agar bisa membantahnya. Juga tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan diskusi selesai berbicara.
15.  Menghadapkan wajah kepada lawan diskusinya dan tidak berpaling kepada orang lain karena meremehkan lawan diskusinya.
16.  Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya. Atau di hadapan orang-orang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang berdiskusi.
17.  Tidak boleh merasa rendah menerima kebenaran ketika kebenran itu tampak di lisan lawan diskusinya.
18.  Tidak boleh mengacaukan jawaban, yakni memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan.
19.  dll
Diambil dari kitab min muqowwimat an nafsiyah al islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah islamiyah). Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir ; Darul Ummah ; Beirut Libanon ; 2004

Adab-adab dalam Bermajelis


Risalah Islam bukanlah merupakan risalah setempat dan terbatas, yang khusus bagi suatu generasi atau suku bangsa tertentu seperti risalah-risalah sebelumnya, tetapi Islam adalah risalah yang universal dan sempurna, yang mencakup segala aspek kehidupan, baik perseorangan maupun kolektif, mulai dari perkara ibadah, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Kesempurnaan Islam ini tidak luput membahas tentang adab-adab dalam bermajelis, dimana tidak sedikit dari kaum muslimin, terutama para aktivis muslim, bermajelis dan bermusyawarah dalam kesehariannya. Mengetahui adab-adab dalam majelis adalah suatu keniscyaan dan keutamaan tersendiri sebagai pengejawantahan firman Allah ta’ala :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Israa’ 17 : 36). Dan sabda Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam : “Menuntut ilmu wajib bagi tiap Muslim”. Maka adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk mengetahui ilmunya terlebih dahulu sebelum beramal, sebagaimana Imam Bukhari telah menjadikan bab العام قبل القول والعمل “Ilmu sebelum berkata dan beramal”.
Berikut ini adalah adab-adab dalam bermajelis :

1. Mengucapkan salam kepada ahli majelis jika ia hendak masuk dan duduk pada majelis tersebut, hendaknya ia mengikuti majelis tersebut hingga selesai. Jika ia hendak meninggalkan majelis tersebut, ia harus meminta izin kepada ahli majelis lalu mengucapkan salam.
2. Tidak menyuruh seseorang berdiri, pindah atau bergeser agar ia menempati tempat duduknya, dan selayaknya bagi ahli majelis yang telah duduk dalam majelis merenggangkan tempat duduknya, agar seseorang yang mendatangi majelis tadi mendapatkan tempat duduk. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لا يقيمن أحدكم رجلا من مجلسه ثم يجلس فيه, ولكن توسّغوا او تفسّحوا
“Janganlah kalian menyuruh temannya bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi hendaklah kamu memperluasnya.” (Muttafaq ‘alaihi).
3. Tidak memisahkan dua orang yang sedang duduk agar ia dapat duduk di tengah-tengahnya, kecuali dengan seizinnya, sebagaimana dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لا يحلّ لرجل أن يفرّق بين إثنين إلا بإذنها
“Tidak halal bagi seorang laki-laki duduk di antara dua orang dengan memisahkan mereka kecuali dengan izinnya.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
4. Apabila seseorang bangkit dari tempat duduknya meninggalkan majelis kemudian kembali lagi, maka ia lebih berhak duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi. Sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إذا قام احدكم من مجلس ثم رجع إليه فهو أحقّ به
“Apabila seseorang bangkit dari duduknya lalu ia kembali, maka ia lebih berhaq duduk di tempatnya tadi.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
5. Tidak duduk di tengah-tengah halaqoh/majelis, dalilnya “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  melaknat orang yang duduk di tengah-tengah halaqoh.” (Abu Dawud)
6. Seseorang di dalam majelis hendaknya memperhatikan adab-adab sebagai berikut :
  • Duduk dengan tenang dan sopan, tidak banyak bergerak dan duduk pada tempatnya.
  • Tidak menganyam jari, mempermainkan jenggot atau cincinnya, banyak menguap, memasukkan tangan ke hidung, dan sikap-sikap lainnya yang menunjukkan ketidakhormatan kepada majelis.
  • Tidak terlalu banyak berbicara, bersenda gurau ataupun berbantah-bantahan yang sia-sia.
  • Tidak berbicara dua orang saja dengan berbisik-bisik tanpa melibatkan ahli majelis lainnya.
  • Mendengarkan orang lain berbicara hingga selesai dan tidak memotong pembicaraannya.
  • Bicara yang perlu dan penting saja, tanpa perlu berputar-putar dan berbasa-basi ke sana ke mari.
  • Tidak berbicara dengan meremehkan dan tidak menghormati ahli majelis lain, tidak merasa paling benar (ujub) dan sombong ketika berbicara.
  • Menjawab salam ketika seseorang masuk ke majelis atau meninggalkan majelis.
  • Tidak memandang ajnabiyah (wanita bukan mahram), berbasa-basi dengannya, ataupun melanggar batas hubungan lelaki dengan wanita muslimah bukan mahram, baik kholwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita bukan mahram) maupun ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram).
7. Disunnahkan membuka majelis dengan khutbatul hajah sebagaimana lafadhnya dalam muqoddimah di awal risalah ini, dimana Rasulullah r senantiasa membacanya setiap akan khuthbah, ceramah, baik pada pernikahan, muhadharah (ceramah) ataupun pertemuan, dan sunnah inipun dilanjutkan oleh sahabat-sahabat lainnya dan para as-Salaf Ash-sholeh.
8. Disunnahkan menutup majelis dengan do’a kafaratul majelis. Lafadhnya adalah sebagai berikut :
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك (حديث صحيح رواه ترمذي)
Artinya : “Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Turmudzi, Shahih). Diriwayatkan pula oleh Turmudzi, ketika Nabi ditanya tentang do’a tersebut, beliau menjawab, untuk melunturkan dosa selama di majelis.

Adab Tidur sesuai Sunnah Rasulullah


Adab-adab tidur sesuai ajaran Rasulullah SAW memang sudah sepantasnya kita terapkan. Bila kita mengikuti adabnya, maka Insya Allah tidur kita dinilai ibadah. Apabila tidur kita dinilai ibadah, coba bayangkan berapa banyak pahala yang kita dapatkan seumur hidup dari tidur kita? Katakan kita tidur 8 jam sehari, maka 1/3 dari hari kita gunakan hanya untuk tidur! Kalau ditelusuri terus sampai akhir hidup, maka kita menggunakan 1/3 hidup kita hanya untuk tidur! Maka dari itu kegiatan rutin ini merupakan hal yang sangat penting untuk menerapkan adab sesuai ajaran Rasulullah. Berikut di bawah hadist panduannya :


1. Dianjurkan Berintrospeksi Diri Sebelum Tidur

Berintrospeksi diri (muhasabah) sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi setiap muslim bermuha-sabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur, menge-valuasi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.

2. Berwudhu Sebelum Tidur

Kita sebaiknya tidur dalam keadaan sudah berwudhu, sebagaimana hadits: “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat.” (HR. Al-Bukhari No. 247 dan Muslim No. 2710).

3. Mengibaskan Tempat Tidur Sebelum Tidur

Sebelum tidur, hendaknya mengibaskan tempat tidur (membersihkan tempat tidur dari kotoran). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW : “Jika salah seorang di antara kalian akan tidur, hendaklah mengambil potongan kain dan mengibaskan tempat tidurnya dengan kain tersebut sambil mengucapkan ‘bismillah’, karena ia tidak tahu apa yang terjadi sepeninggalnya tadi.” (HR. Al Bukhari No. 6320, Muslim No. 2714, At-Tirmidzi No. 3401 dan Abu Dawud No. 5050).

4. Posisi Tidur yang Baik adalah Miring ke Sebelah Kanan

ntuk posisi tidur, sebaiknya posisi tidur di atas sisi sebelah kanan (rusuk kanan sebagai tumpuan). Tidak menjadi masalah jika pada saat tidur nanti posisi kita berubah ke atas sisi kiri. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh: “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710). “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya.” (HR. Abu Dawud no. 5045, At Tirmidzi No. 3395, Ibnu Majah No. 3877 dan Ibnu Hibban No. 2350).

5. Membaca Do’a Sebelum Tidur

“Bismikaallahumma ahya wa bismika wa amuut”. Yang artinya : Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup.

6. Apabila Gelisah

Apabila merasa gelisah, risau, merasa takut ketika tidur malam atau merasa kesepian maka dianjurkan sekali baginya untuk berdoa sebagai berikut: “A’udzu bikalimaatillahi attammati min ghadhabihi wa ‘iqaabihi wa syarri ‘ibaadihi wa min hamazaatisysyayaathiin wa ayyahdhuruun.” Yang artinya “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, siksa-Nya, dari kejahatan hamba-hamba-Nya, dari godaan para syaitan dan dari kedatangan mereka kepadaku.” (HR. Abu Dawud No. 3893, At-Tirmidzi No. 3528 dan lainnya).

7. Tidak Boleh Telanjang

Pada saat tidur tidak boleh telanjang berdasarkan hadits berikut : “Tidak diperbolehkan tidur hanya dengan memakai selimut, tanpa memakai busana apa-apa”. (HR. Muslim).

8. Sesama Jenis Kelamin, Dilarang Tidur Satu Selimut

Laki2 dengan laki2 atau wanita dengan wanita tidak boleh tidur dalam satu selimut seperti hadits berikut : “Tidak diperbolehkan bagi laki-laki tidur berdua (begitu juga wanita) dalam satu selimut”. (HR. Muslim).

9. Makruh tidur tengkurap

Abu Dzar Radhiallaahu anhu menuturkan : Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka Nabi membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda : Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka. (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

10. Makruh tidur di atas dak terbuka

Karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda : Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya. (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

11. Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur

Dari Jabir Radhiallaahu anhu diriwayatkan bahwa sesung-guhnya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda : Padamkanlah lampu di malam hari apa bila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman. (Muttafaq `alaih)

12. Disunnahkan mengusap Wajah dengan Tangan setelah Bangun

Berdasarkan hadits berikut : “Maka bangunlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari tidurnya kemudian duduk sambil mengusap wajah dengan tangannya.” [HR. Muslim No. 763 (182)].

13. Jika Bermimpi Buruk

Jika bermimpi buruk, jangan sekali-kali menceritakannya pada siapapun, kemudian meludah ke kiri tiga kali (diriwayatkan Muslim IV/1772), dan memohon perlindungan kepada Alloh dari godaan syaitan yang terkutuk dan dari keburukan mimpi yang dilihat. (Itu dilakukan sebanyak tiga kali) (diriwayatkan Muslim IV/1772-1773). Hendaknya berpindah posisi tidurnya dari sisi sebelumnya. (diriwayatkan Muslim IV/1773). Atau bangun dan shalat bila mau. (diriwayatkan Muslim IV/1773).

14. Bersiwak Setelah Bangun

Berdasarkan hadits berikut : “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun malam membersihkan mulutnya dengan bersiwak.” (HR. Al Bukhari No. 245 dan Muslim No. 255).

15. Ber-istinsyaq dan ber-istintsaar

Ber-istinsyaq dan ber-istintsaar (menghirup kemudian mengeluarkan atau menyemburkan air dari hidung). “Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka beristintsaarlah tiga kali karena sesunggguhnya syaitan bermalam di rongga hidungnya.” (HR. Bukhari No. 3295 dan Muslim No. 238).

16. Mencuci Kedua Tangan Tiga Kali

Mencuci kedua tangan tiga kali, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila salah seorang di antara kamu bangun tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana, sebelum ia mencucinya tiga kali.” (HR. Al-Bukhari No. 162 dan Muslim No.278).


Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa posisi tidur yang paling baik adalah bertumpu pada sisi kanan tubuh (menghadap ke kanan), dan ternyata hal ini sesuai dengan riset ilmiah yang telah dilakukan oleh beberapa orang. Berdasarkan riset ilmiah, posisi tidur seperti ini lebih menyehatkan daripada tiga posisi yang lain, yaitu tidur telentang tengkurap, dan tidur dengan bertumpu pada sisi kiri tubuh.

Posisi Telentang : Tidur berbaring dengan posisi telentang kurang sehat, sebab menekan atau menyesakkan tulang punggung, bahkan kadangkala bisa menyebabkan kita ingin ke toilet/WC.

Tidur Tengkurap : Tidur tengkurap atau menelungkup tidak baik untuk pernapasan. Tidak dibenarkan telungkup dengan posisi perut sebagai tumpuannya baik ketika tidur malam atau pun tidur siang. “Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai Allah Azza Wa Jalla.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih)

Posisi Kiri : Tidur dengan bertumpu pada sisi kiri badan (menghadap ke kiri) dapat menghimpit posisi jantung sehingga sirkulasi darah terganggu dan pasokan darah ke otak berkurang. Dengan berkurangnya pasokan darah ke otak, tidur pada posisi kiri dapat pula mengakibatkan kita sering mengalami mimpi-mimpi tidak baik (nightmares), serta berjalan dalam keadaan tidur (somnabulisme).


Original Article's Title is Adab Tidur dalam Islam sesuai Ajaran Rasulullah | A TechnoLedge Blog
in http://muhfachrizal.blogspot.com
Under Creative Commons License: Attribution

Adab Makan Minum Sesuai Sunnah Rasulallah


Seorang muslim/ah ketika makan dan minum bertujuan untuk memelihara kesehatan badannya agar bisa melak-sanakan ibadah kepada Allah Ta’ala. Dengan ibadah tersebut dia akan mendapatkan kemuliaan dan kesenangan di akhirat. Karenanya seorang muslim tidak seharusnya makan dan minum semata karena hawa nafsu.
Orang muslim menghadapi hidangan dengan rasa syukur dan taqwa, lalu makan dan minum sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam , yaitu sebagai berikut:

A. Adab sebelum makan
* Makan dan minum dari yang halal dan baik, menghindarkan dari yang haram dan meragukan. Allah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah olehmu dari (sesuatu) yang baik yang Kami anugerahkan padamu.” (Al-Baqarah: 172).
* Makan dan minum dengan niat untuk menguatkan diri dalam beribadah kepada Allah, agar mendapatkan pahala atas apa yang dimakan dan diminumnya. Karena, sesuatu yang mubah apabila diniati baik maka akan menjadi sebuah ketaatan yang menghasilkan pahala bagi seorang muslim.
* Mencuci tangan sebelum makan apabila ada kotoran di tangannya atau masih belum yakin dengan kebesihan tangannya.
* Meletakkan makanan di atas sufrah (alas) tempat makanan dan ditelakkan di atas lantai atau tanah, tidak di atas meja makan. Ini lebih mendekatkan kepada sikap merendahkan hati (tawadhu’) di dalam menerima nikmat Allah, sebagaimana Anas radhiallahu anhu menjelaskan: “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam tidak makan di atas meja dan tidak pula di mangkok.” (HR. Al-Bukhari).
* Duduk dengan sopan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang artinya: “Aku tidak makan dengan bertelekan/bersandar, sesungguhnya aku seorang hamba, aku makan sebagaimana seorang hamba makan dan aku duduk sebagaimana seorang hamba duduk.” (HR. Al-Bukhari).
* Meridhai makanan yang ada, tidak mencaci dan mencela makanan. Apabila menyukainya dimakan, dan apabila tidak ditinggalkan. Abu Hurairah radhiallahu anhu menjelaskan: “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam tidak pernah mencela makanan, apabila beliau menyukainya ingin beliau memakannya, jika tidak suka , beliau meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
* Makan bersama-sama, dengan tamu atau dengan isteri dan anaknya, atau dengan pembantunya. Dalam sebuah riwayat: “Berkumpullah kamu sekalian dalam makananmu, niscaya diberkahi kamu sekalian di dalamnya.” (Abu Daud dan At-Tirmidzi, dengan sa-nad hasan karena banyak syahid-nya.)
B. Adab di saat bersantap
* Memulai makan atau minum dengan mengucapkan basmalah, sesuai sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang artinya : “Apabila salah satu di antara kamu akan makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala. Apabila ia lupa menyebut nama Allah Ta’ala (di permulaannya), maka sebutlah nama Allah dengan meng-ucapkan, ‘Bismillahi awwalahu wa akhirahu’.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia katakan hasan shahih).
* Mengakhiri makan dengan mengucapkan alhamdulillah, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasalam mengajarkannya: “Barangsiapa yang selesai makan mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ

‘Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah memberi makan kepadaku, dan telah memberiku rizki dengan tanpa adanya kemampuan dan kekuatan dariku’, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. At-Tirmidzi, ia katakan hasan shahih).
Atau membaca doa-doa lain yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dalam sunnah-sunnahnya yang shahih.
* Makan dengan tiga jari tangan kanannya, mengecilkan suapan, dan memakan yang paling dekat dengannya, tidak dari tengah piring, sebagaimnana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam kepada Amr bin Salamah yang artinya :
“Hai bocah, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang di dekatmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain Rasulllah shallallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya : “Berkah itu turun di tengah makanan, maka makanlah kamu sekalian dari pinggirnya dan janganlah kalian makan dari tengahnya.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia katakan hasan shahih).
Termasuk sunnah Rasul shallallahu alaihi wasalam , yaitu makan dengan jari, bila memungkinkan makanan itu dimakan dengan tiga jari, apabila tidak mungkin karena termasuk makanan yang berair boleh dimakan dengan mamakai sendok.
* Apabila makanan yang ia makan terjatuh, sebaiknya diambil dan dibersihkan dari kotoran, lalu dimakan setelah bersih. Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya : “Apabila sepotong makananmu jatuh, maka ambillah dan bersihkanlah apabila ada bagian yang kotor, kemudian makanlah (setelah bersih), jangan membiarkan makanan itu diambil oleh syaitan.” (HR. Muslim).
* Mengunyah dengan baik dan menjilat jari tangannya dari bekas makanan. Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam , dari Ka’ab radhiallahu anhu , ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam makan dengan menggunakan tiga jari dan tatkala selesai beliau menjilat ketiga jarinya itu.”(HR. Muslim).
* Menghindari makan terlalu kenyang, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang artinya : “Tidaklah anak Adam memenuhi suatu bejana yang lebih buruk daripada memenuhi perutnya. Cukuplah bagi anak Adam dengan beberapa suap untuk menopang punggungnya. Apabila tidak bisa, maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, hasan shahih).
* Tidak meniup/bernafas di dalam makanan yang panas, tidak memakannya kecuali makanan itu telah dingin, dan tidak bernafas di dalam tempat minum, namun bernafas di luarnya tiga kali. Anas menjelaskan, “bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bernafas tiga kali di saat beliau minum”. Dalam riwayat lain dijelaskan, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma , ia berkata: “Bahwasanya Rasulullah melarang bernafas di dalam tempat minum atau meniup di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Bukhari dengan lafazh lain).
* Tidak minum dengan sekaligus habis. Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma , Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya : “Kalian jangan minum (segelas dihabiskan) sekaligus seperti unta, tetapi minumlah dua atau tiga kali, dan sebelumnya hendaklah membaca basmalah, kemudian sesudahnya membaca alhamdulillah.” (HR. At-Tirmidzi dan ia katakan, hasan shahih).
* Tidak minum langsung dari mulut teko/poci (makruh hukumnya). Dari Abu Hurairah radiallahuanhu, ia berkata: “Rasulullah melarang seseorang minum dari mulut tempat minuman atau teko.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Itulah di antara adab-adab makan dan minum yang bisa kita laksanakan sebagai wujud dari kecintaan kita kepada sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam .

Kamis, 12 Januari 2012

TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT : 216


كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (البقرة: 216)


"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu me-nyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Al-Baqarah: 216)
Tafsir Ayat : 216 
Ayat ini mengandung hukum wajibnya berjihad di jalan Allah setelah sebelumnya kaum muslimin diperintahkan untuk meninggalkannya, karena mereka masih lemah dan tidak mampu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah dan jumlah kaum muslimin bertambah banyak dan kuat, Allah memerintahkan mereka untuk berperang, dan Allah mengabarkan bahwasanya peperangan itu sangatlah dibenci oleh jiwa karena mengandung keletihan, kesusahan, menghadapi hal-hal yang menakutkan dan membawa kepada kematian. Tapi sekalipun demikian berjihad itu merupakan kebaikan yang murni, karena memiliki ganjaran yang besar dan menghindarkan dari siksaan yang pedih, pertolongan atas musuh dan kemenangan dengan ghanimah dan sebagainya, yang memang menimbulkan rasa tak suka. 
وَعَسَى أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ "Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu". Hal itu seperti tidak ikut pergi berjihad demi menikmati istirahat, itu adalah suatu keburukan, karena akan mengakibatkan kehinaan, penguasaan musuh terhadap Islam dan pengikutnya, terjadinya kerendahan dan hina dina, hilangnya kesempatan mendapat pahala yang besar dan (sebaliknya) akan memperoleh hukuman. 
Ayat ini adalah umum lagi luas, bahwa perbuatan-perbuatan baik yang dibenci oleh jiwa manusia karena ada kesulitan padanya itu adalah baik tanpa diragukan lagi, dan bahwa perbuatan-perbuatan buruk yang disenangi oleh jiwa manusia karena apa yang diperkirakan olehnya bahwa padanya ada keenakan dan kenikmatan ternyata buruk tanpa diragukan lagi. 
Perkara dunia tidaklah bersifat umum, akan tetapi kebanyakan orang bahwa apabila ia senang terhadap suatu perkara, lalu Allah memberikan baginya sebab-sebab yang membuatnya berpaling darinya bahwa hal itu adalah suatu yang baik baginya, maka yang paling tepat baginya dalam hal itu adalah ia bersyukur kepada Allah, dan meyakini kebaikan itu ada pada apa yang terjadi, karena ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala lebih sayang kepada hambaNya daripada dirinya sendiri, lebih kuasa memberikan kemaslahatan buat hambaNya daripada dirinya sendiri, dan lebih mengetahui kemaslahatannya daripada dirinya sendiri, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ "Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". Maka yang pantas bagi kalian adalah kalian sejalan dengan segala takdir-takdirNya, baik yang menyenangkan ataupun yang menyusahkan kalian. 
Dan tatkala perintah berperang tidak dibatasi, pastilah akan mencakup bulan-bulan haram dan selainnya, Allah Ta’ala mengecualikan peperangan pada bulan-bulan haram seraya berfirman, (ayat berikutnya –pent.)
Hadits-Hadits yang Berkaitan dengan Ayat 
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan beberapa hadits ketika menafsirkan ayat tersebut diantaranya:
مَنْ مَاتَ وَلمَ ْيَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِالْغَزْوِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيِّةً


"Barang siapa meninggal dunia sedang ia tidak pernah ikut berperang dan ia juga tidak pernah berniat untuk berperang, maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahiliyah.”(Muttafaq ‘alaih) 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada waktu Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah):
لاَ هِجْرَةَََ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَ نِيَّةٌٌٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا


“Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah (pembukaan kota Makkah), akan tetapi yang ada yaitu hijrah untuk jihad dan untuk niat baik. Bila kalian di minta untuk maju perang, maka majulah !” (Muttafaq ‘alaih) 
Imam Az-Zuhri mengatakan, “Jihad itu wajib bagi setiap individu, baik yang dalam keadaan berperang maupun yang sedang duduk (tidak ikut berperang). Orang yang sedang duduk, apabila dimintai bantuan, maka ia harus memberikan bantuan, jika diminta untuk maju berperang, maka ia harus maju perang, dan jika tidak dibutuhkan, maka hendaknya ia tetap di tempat (tidak ikut).”
Pelajaran dari Ayat: 
  • Ayat tersebut merupakan penetapan kewajiban jihad dari Allah Ta’ala bagi kaum muslimin. Agar mereka menghentikan kejahatan musuh dari wilayah islam. Dan juga agar supaya tidak tersisa di bumi Allah ini fitnah dan perbuatan syirik. 
  • Ketidaktahuan seseorang terhadap akibat atau balasan sebuah perbuatan ataupun ketentuan Allah, menjadikannya menyenangi perbuatan yang dibenci atau diharamkan, dan menjadikannya membenci dan menjauhi perbuatan yang sebenarnya dicintai dan diridhai Allah, walaupun terkadang bertentangan dengan keinginan dan hawa nafsunya. 
  • Seluruh perintah Allah adalah baik, dan seluruh larangan-laranganNya adalah buruk. Maka dari itu wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakan seluruh perintahNya dan menjauhi seluruh larangan-laranganNya.


Sumber :
• Tafsir as-Sa’di, cet. Shahifa;
• Aisarut-Tafasir, syaikh al-Jaza’iri;
• dan Tafsir Ibnu Katsir, cet. Pustaka Imam Syafi’i. 

Jumat, 06 Januari 2012

Apakah Air Mani itu Najis atau tidak?

Apakah Air Mani itu Najis atau tidak?

Dalil-dalil yang berkaitan dengan hal ini adalah

{1}عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: { كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَذْهَبُ فَيُصَلِّي فِيهِ }. رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ

Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan akar rumput idzkir , lalu ia pergi, kemudian ia shalat dengan pakaian itu. (HR Jama’ah , kecuali Bukhari, Nailur Authar No. 41 )

{2}وَلِأَحْمَدَ { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْلُتُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِهِ بِعِرْقٍ الْإِذْخِرِ ، ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ وَيَحُتُّهُ مِنْ ثَوْبِهِ يَابِسًا ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ }

Dan bagi Ahmad (dikatakan) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menghilangkan mani dari pakaiannya dengan akar idzkhir, kemudian ia shalat dengan pakaian itu dan mengerik mani dari pakaiannya dalam keadaaan kering, lalu ia shalat dengan pakaian itu.

{3}وَفِي لَفْظٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهِ . { كُنْت أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلَاةِ وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِي ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ }

Dan dalam lafadz hadist yang di riwayatkan Bukhari, Muslim dan Ahmad, “Aku pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam”, lalu ia keluar untuk shalat, sedang bekas cuciannya itu masih nampak pada bajunya, yaitu basah-basahnya air itu.

{4}وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ عَنْهَا : { كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إذَا كَانَ رَطْبًا }
Dan bagi Daraquthni, dari ‘Aisyah : Aku biasa mengerik mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan mencucinya kalau basah.

{5}وَعَنْ إِسْحَاقَ بْنِ يُوسُفَ قَالَ : حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَطَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : { سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ ، فَقَالَ : إنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُخَاطِ وَالْبُصَاقِ وَإِنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ بِإِذْخِرَةٍ } . رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ وَقَالَ : لَمْ يَرْفَعْهُ غَيْرُ إِسْحَاقَ الْأَزْرَقِ عَنْ شَرِيكٍ

Dari Ishaq bin Yusuf, ia berkata: Telah memberitahu kepadaku, Syarik, dari Muhammad bin Abdirrahman, dari Atha dari Ibnu Abbas ra, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, ia menjawab : “Sebenarnya mani itu seperti dahak/lendir dan air liur, karena itu cukup bagimu mengusapnya dengan kain atau rumput idzkhir” HR Riwayat Daraquthni dan ia berkata: Tidak ada yang memarfu’kan hadist ini selain Ishaq al Azraq dari Syarik. (Nailur Authar No. 42)

Penjelasan:

Ada dua pendapat di kalangan ulama salaf mengenai hal “Apakah najis air mani itu?”

Pertama

وَبِهَذَا الْحَدِيثِ اسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ بِنَجَاسَةِ الْمَنِيِّ ، وَهُمْ الْهَادَوِيَّةُ ، وَالْحَنَفِيَّةُ ، وَمَالِكٌ وَرِوَايَةً عَنْ أَحْمَدَ قَالُوا : لِأَنَّ الْغَسْلَ لَا يَكُونُ إلَّا عَنْ نَجَسٍ

Dengan hadist-hadist tersebut dijadikannya dalil “Kenajisannya Mani”, mereka adalah Ulama al Hadawiyyah (syi’ah), Hanafiyyah, dan Malik dan salah satu dari pendapat Imam Ahmad. Mereka mengatakan : “Karena cucian itu hanyalah yang najis”.

Hal ini juga berdasarkan kias atas yang lainnya seperti kotoran dari tubuh manusia, diataranya air kencing, air besar, karena itu sisa dari sisa makanan manusia. Juga berdasarkan alsan bahwa hadas-hadas yang di wajibkan dicuci itu adalah merupakan najis, dan mani termasuk kedalam najis itu, dank arena mani keluar dari saluran kencing, maka harus dicuci dengan air seperti najis-najis lainnya.

Mereka menta’wilkan hadist berikut

كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya: “Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” adalah mashdar ta’kid (yang menyungguhkan penegertian fi’il) yang mengaskan bahwa ‘Aisyah betul-betul pernah menggosoknya.

Kedua

Ulama yang berpendapat bahwa mani adalah tidak najis adalah ulama-ulama Syafi’iyah, mereka berkata :
وَقَالَتْ الشَّافِعِيَّةُ: الْمَنِيُّ طَاهِرٌ، وَاسْتَدَلُّوا عَلَى طَهَارَتِهِ بِهَذِهِ الْأَحَادِيثِ قَالُوا : وَأَحَادِيثُ غَسْلِهِ مَحْمُولَةٌ عَلَى النَّدْبِ ، وَلَيْسَ الْغَسْلُ دَلِيلُ النَّجَاسَةِ

Mani adalah Suci, mereka mengemukakan dalil-dali yang menunjukan kesucian mani dengan hadist-hadist tersebut diatas, dengan mengatakan Bahwa hadist-hadist yang menjeleskan tentang pencucian mani itu hanyalah terkandung hukum sunnah mencucinya saja dan cucian itu bukan menunjukan kenajisan-kenajisan mani itu.

Terkadang pencucian itu hanya karena sucinya dan sekerdar menghilangkan daki dan semacamnya. Mereka juga mengatakan bahwa penyamaan mani dengan dahak dan air liur itu [hadist no 5], menunjukan kesucian mani juga.

Kesimpulan:

Demikanlah yang dapat saya sampaikan mengenai hal yang terkandung dalam subjek awal tulisan ini. Bahwa ulama salaf telah berbeda pendapat menganai hal ini dan ikhtilaf ini terjadi karena perbedaan pemahaman tentang hadist-hadist yang telah di uraikan.

Referensi:

Nailur Authar syarah Al Muntaqo Syaikhul Ibnu Taimiyyah, oleh Imam Asy Syaukani
Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, oleh Imam As Shon’ani