Rabu, 05 Oktober 2011

Adab-Adab Dalam Perang

Dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Dahulu apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat seorang amir pada satu tentara atau expedisi peperangan. Beliau memberi wasiat kepada amir tersebut agar bertakwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang ikut bersamanya, kemudian beliau bersabda:

اغْزُوْا بِاِسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تَمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَدْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِلاَلٍ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِيْنَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ، وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْهِمْ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَبِ الْمُسْلِمِيْنَ، يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ، وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِي الْغَنِيْمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ الْمُسْلِمِيْنَ. فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ، فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإنْ هُمْ أَبَوْا فَسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ.

"Berperanglah kalian dengan Nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kufur kepada Allah, perangilah dan janganlah kalian berkhianat, janganlah kalian mengingkari janji, janganlah kalian membunuh anak-anak. Jika kalian berjumpa dengan musuh kalian dari orang-orang musyrik, ajaklah mereka kepada tiga perkara, jika mereka berkenan terimalah dari mereka dan jangan apa-apakan mereka, ajaklah mereka kepada Islam, jika mereka berkenan terimalah keislaman mereka dan jangan kalian apa-apakan mereka. Kemudian ajaklah mereka agar pindah dari tempat mereka ke tempat kaum Muhajirin, dan kabarkan bahwa jika mereka mengerjakan hal itu, maka bagi mereka apa yang didapat oleh kaum Muhajirin dan mereka pun akan dibebani dengan apa yang dibebankan kepada kaum Muhajirin. Apabila mereka enggan untuk pindah, kabarkan kepada mereka bahwa keadaan mereka seperti orang-orang Arab pegunungan yang muslim, hukum Allah yang berlaku kepada kaum mukmin tetap berlaku kepada mereka, mereka tidak akan mendapat bagian dari ghanimah dan fai’ kecuali mereka ikut berjihad bersama kaum muslimin. Jika mereka enggan (terhadap Islam) maka mintalah jizyah dari mereka, apabila mereka berkenan terimalah jizyah dari mereka dan jangan apa-apakan mereka. Jika mereka enggan (mem-bayar jizyah) maka mintalah pertolongan kepada Allah, dan perangilah mereka.’” [1]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

وُجِدَتِ امْرَأَةٌ مَقْتُولَةٌ فِي بَعْضِ مَغَازِي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ.

“Telah dijumpai wanita yang terbunuh dalam beberapa peperangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak.” [2]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu kepada penduduk Yaman untuk memberi pengajaran (tentang Islam) kepada mereka, beliau berwasiat kepada Mu’adz dengan wasiat:

إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذٰلِكَ. فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.

“Sesungguhnya engkau mendatangi suatu kaum dari ahli Kitab, ajaklah mereka kepada syahadat bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku adalah utusan Allah, apabila mereka mentaatimu dalam masalah ini, sampaikanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan bagi mereka shalat lima kali sehari semalam. Apabila mereka mentaatimu dalam masalah ini, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan bagi mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan di bagikan kepada orang-orang miskin di antara mereka. Apabila mereka mentaatimu dalam masalah ini, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka dan jagalah dirimu dari do’a orang-orang mazhlum (teraniaya), karena sesungguhnya tidak ada satu tabir peng-halang pun antara do’anya dan Allah.” [3]

Kepada Siapakah Jihad Diwajibkan?
Jihad wajib bagi setiap muslim, yang telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang, serta mempunyai harta yang cukup untuk dirinya dan keluarga yang ditinggalkan ketika dia tidak ada di sisi mereka.

Adapun kewajiban jihad bagi seorang muslim bukan bagi orang kafir sudah jelas, karena jihad adalah memerangi orang kafir.

Adapun kewajiban jihad bagi orang-orang yang sudah baligh, bukan bagi anak-anak, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar:

عُرِضْتُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَ عُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْخَنْدَقِ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِي.

“Aku dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika perang Uhud, sedangkan aku pada saat itu berumur empat belas tahun, beliau tidak mengizinkan aku untuk ikut serta. Kemudian aku dibawa lagi ke hadapan beliau pada perang Khandaq sedangkan aku pada saat itu berumur lima belas tahun, beliau pun mengizinkan aku ikut serta.” [4]

Adapun kewajiban jihad itu hanya untuk orang berakal dan tidak wajib bagi yang tidak berakal, berdasarkan karena hadits:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ.

“Telah diangkat pena dari tiga orang.” [5]

Adapun kewajiban jihad bagi laki-laki tidak bagi wanita, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

يَا رَسَوْلَ اللهِ، هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ، اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ.

“Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah.” [6]

Adapun tidak diwajibkan jihad bagi orang sakit dan orang yang tidak mampu berdasarkan firman Allah:

لَّيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَىٰ وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ

“Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya...” [At-Taubah: 91]

Adapun sebab tidak diwajibkan jihad bagi orang yang tidak merdeka karena seorang hamba saya adalah kepunyaan tuannya, dia tidak bisa berjihad tanpa seizin tuannya.

Kapan Hukum Jihad Menjadi Fardhu ‘Ain?
Jihad tidak menjadi fardhu ‘ain kecuali pada keadaan berikut:
1. Jika seorang mukallaf (yang dibebani syari’at) telah berada dalam barisan pasukan yang siap tempur.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu...” [Al-Anfaal: 45]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ

“Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” [Al-Anfaal: 15]

2. Jika musuh telah menginjakkan kaki di negeri kaum muslimin.

3. Jika penguasa memerintahkan kepada seseorang untuk berjihad, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا.

“Tidak ada hijrah (dari kota Makkah) setelah penaklukan kota Makkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat baik. Apabila kalian diperintahkan untuk berperang maka pergilah!” [7]

Tawanan Perang
Tawanan dari orang kafir ada dua kelompok:
Kelompok yang langsung menjadi budak karena tertawan, mereka adalah para wanita dan anak-anak. Sebab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak [8]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membagikan anak-anak tawanan perang sebagaimana beliau membagikan harta rampasan.

Kelompok kedua adalah kelompok yang tidak menjadi budak hanya karena tertawan, mereka adalah laki-laki yang baligh. Imam berhak membunuh mereka atau memperbudak mereka atau membebaskan mereka tanpa tebusan ataupun dengan tebusan, baik berupa harta maupun laki-laki (yang tertawan dari kaum muslimin). Imam berhak memilih apa yang dapat mendatangkan kemaslahatan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ

“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi...” [Al-Anfaal: 67]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah membunuh laki-laki yang tertawan dari bani Quraidzah, menjadikan budak tawanan dari bani Mushthaliq, membebaskan Abul ‘Ash bin Rabi’ dan Tsumamah bin Atsal tanpa tebusan, membebaskan tawanan perang Badar dengan tebusan berupa harta dan membebaskan dua orang Sahabatnya dengan tebusan seorang musyrik dari bani ‘Uqail.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّىٰ إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّىٰ تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka tebaslah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti...” [Muhammad: 4]

Salb
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَن قَتَلَ قَتِيْلاً فَلَهُ سَلَبُهُ.

“Barangsiapa membunuh seseorang, maka baginya salb orang tersebut.” [9]

Salb adalah apa yang terdapat padanya (orang yang dibunuh), baik pakaian, perhiasan, atau senjatanya. Demikian pula binatang tunggangan yang ia pakai berperang.

Ghanimah
Setelah itu ghanimah (harta rampasan perang) dibagikan. Empat perlima bagian untuk orang-orang yang berperang, dengan perincian untuk pejalan kaki satu bagian dan untuk pasukan berkuda tiga bagian.

Allah berfirman:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah dan untuk Rasul...” [Al-Anfaal: 41]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

رَأَيْتُ الْمَغَانِمَ تُجَزَّأُ خَمْسَةَ أَجْزَاءٍ، ثُمَّ يُسْهَمُ عَلَيْهَا، فَمَا كَانَ لِرَسُوْلِ اللهِ j فَهُوَ لَهُ، يَتَخَيَّرُ.

“Aku melihat harta rampasan dibagi lima bagian, kemudian diberikan kepada yang ikut berperang, adapun yang menjadi bagian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagian itu adalah miliknya yang beliau pilih.”

Dan dari beliau juga, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membagi harta rampasan perang Khaibar, untuk penunggang kuda tiga bagian dan untuk kudanya dua bagian serta untuk pejalan kaki satu bagian. [10]

Bagian (penuh) tidak diberikan kecuali kepada seseorang yang terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Islam, baligh, berakal, merdeka, dan laki-laki. Apabila salah satu syarat tadi tidak terpenuhi maka ia diberi radkh [11] tidak diberi bagian (yang penuh) karena ia bukan orang yang wajib berjihad.

Dari ‘Umair maula Abul Lahm, ia berkata,

غَزَوْتُ مَعَ مَوْلاَيَ، يَوْمَ خَيْبَرَ، وَأَنَا مَمْلُوكٌ، فَلَمْ يَقْسِمْ لِي مِنَ الْغَنِيْمَةِ، وَأُعْطِيْتُ مِنْ خُرْثِيِّ الْمَتَاعِ، سَيْفًا، وَكُنْتُ أَجُرُّهُ إِذَا تَقَلَّدْتُهُ.

“Aku pernah berperang bersama tuanku dalam perang Khaibar sedangkan aku pada saat itu adalah seorang budak, aku tidak diberikan bagian (yang penuh) pada saat itu, aku hanya diberikan peralatan rumah tangga berupa pedang yang selalu aku seret ketika aku membawanya.” [12]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَو بِالنِّسَاءِ فَيُدَاوِيْنَ الْجَرْحَىٰ وَيُحْذَيْنَ مِنَ الْغَنِيمَةِ، وَأَمَّا بِسَهْمٍ، فَلَمْ يَضْرِبْ لَهُنَّ.

“Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berperang bersama para wanita, mereka mengobati orang-orang yang terluka, mereka diberi sedikit dari harta rampasan perang, mereka tidak diberikan bagian (yang sempurna).” [13]

Objek Pembagian Seperlima (Sisa Harta Rampasan Perang)
Sisa yang seperlima dibagi lima bagian, satu bagian untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelah wafatnya beliau dipakai untuk kemaslahatan, satu bagian untuk keluarga dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muththalib, satu bagian untuk anak-anak yatim, satu bagian untuk orang-orang miskin dan satu bagian untuk ibnu sabil:

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللَّهِ وَمَا أَنزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu.” [Al-Anfaal: 41]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1111)], Shahiih Muslim (III/1356, no. 1731), Sunan at-Tirmidzi (II/431, no. 1429) secara ringkas.
[2]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/148, no. 3015), Shahiih Muslim (III/ 1364, no. 1744), Sunan Abi Dawud (VII/329, no. 2651), Sunan at-Tirmidzi (III/66, no. 1617), Sunan Ibni Majah (II/947, no. 2841).
[3]. Muttafaq ‘alaih.
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/276, no. 2664), Shahiih Muslim (III/ 1490, no. 1868), Sunan at-Tirmidzi (III/127, no. 1763), Sunan an-Nasa-i (VI/ 155), Sunan Abi Dawud (XII/80, no. 4384).
[5]. Telah ditakhrij.
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2345), Sunan Ibni Majah (II/968, no. 2901), Ahmad (XI/18, no. 21), ad-Daraquthni (II/284, no. 215).
[7]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/3, no. 2783), Shahiih Muslim (II/986, no. 1353), Sunan at-Tirmidzi (III/73, no. 1638), Sunan Abi Dawud (VII/158, no. 2463).
[8]. Telah disebutkan takhrijnya.
[9]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/247, no. 3142), Shahiih Muslim (III/ 1370, no. 1751), Sunan at-Tirmidzi (III/61, no. 1608), Sunan Abi Dawud (VII/385, no. 2700).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2303), Sunan Ibni Majah (II/952, no. 2853), ini adalah lafazh dalam riwayat beliau, dan yang meriwayatkan seperti ini tanpa menyebutkan ‘khaibar’, Shahiih al-Bukhari (VI/67, no. 2863), Shahiih Muslim (III/1383, no. 1762), Sunan Abi Dawud (VII/404, no. 2716).
[11]. Radkh yaitu pemberian yang sedikit. (Lihat Lisaanul ‘Arab III/19).
[12]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2304), Sunan at-Tirmidzi (III/58, no. 1200), Sunan Abi Dawud (VII/402, no. 2712), Sunan Ibni Majah (II/952, no. 2855).
[13]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1151), Shahiih Muslim (III/1444, no. 1812), Sunan Abi Dawud (VII/399, no. 2711), Sunan at-Tirmidzi (III/57, no. 1958).